MENGAPA MENJADI JURNALIS

Oleh : Kurniawan T Arief

Ya, kenapa menjadi jurnalis? Pertanyaan mendasar yang membuat saya cukup pusing memikirkannya. Saya sendiri lupa awal saya tertarik pada bidang jurnalisme. Sebuah pertanyaan yang terkadang dianggap sepele bagi sebagian orang yang sedang melakukan aktifitas jurnalistik, namun sesungguhnya memiliki makna filosofis yang mendalam. 

Karena saya sendiri tidak mempunyai pengalaman pribadi sebagai seseorang yang ditanya oleh orang lain ‘Mengapa menjadi jurnalis?’. Saya ingat beberapa bagian dalam hidup saya yang pernah saya lewati pada awal pembentukan pers mahasiswa di Kampus. Pada waktu itu organisasi yang baru saya bersama sahabat lain dirikan sedang membuka perekrutan anggota baru untuk regenerasi organisasi, disamping di wajibkan mengisi formulir pendaftaran, beberapa calon anggota yang selesai mengisi formulir tersebut saya tanyai satu persatu, kenapa menjadi jurnalis? Mengapa tertarik mendaftarkan diri di LPM? Kenapa anda tertarik pada jurnalisme? Dan beberapa varian pertanyaan lainnya yang saya ajukan.

Berbeda orang, berbeda pemikiran tentu saja berbeda jawaban yang dilontarkan. Ada yang menjawab meneruskan hobi dan minat sejak SMA karena pernah ikut ekstrakurikuler Jurnalistik, ada yang menjawab ingin menambah wawasan dan ilmu, ada yang menjawab cita-cita dari kecil, bahkan ada yang menjawab dengan polosnya ingin menjadi orang yang populer di kampus dan agar ada alasan untuk ijin kuliah karena sedang mewawancarai tokoh-tokoh penting?. Wah, jawaban yang terakhir membuat saya cukup terperangah sekaligus geli. Namun tak apa, saya jauh lebih menghargai kejujuran ketimbang kamuflase demi citra diri.

Sampai saat ini, saya baru mengerti bahwa keputusan dan niat saya dahulu bersama para sahabat untuk mendirikan Pers Mahasiswa  di Kampus ternyata adalah sebuah keputusan benar yang dapat menciptakan sebuah perubahan. Perubahan yang dipengaruhi oleh opini public yang tereduksi dan terbentuk dari hasil liputan kami.

Kenapa menciptakan perubahan? Apa hubungannya menjadi jurnalis dengan perubahan?

Saya ingat pada satu liputan kecil pada Edisi ke dua Newsletter Setara di awal tahun 2012, dimana di dalamnya berisi tentang liputan anggaran kemahasiswaan di kampus selama satu tahun dengan sumber data laporan tertulis dari pihak Rektorat. Dari liputan itu terungkap (tentunya tak mungkin saya menjelaskan secara terperinci isi tulisan itu) bahwa masih banyak anggaran kegiatan kemahasiswaaan di kampus yang tidak terpakai. Padahal sebelumnya setiap ada proposal kegiatan yang diajukan oleh mahasiswa kepada Rektorat, dana yang dialokasikan bisa terbilang tidak sebanding dengan format kegiatan.  Intinya, pada liputan itu kami membuka informasi kepada masyarakat kampus tentang ketidakefektifan manajemen keuangan kampus. Seiring dengan waktu, paska hasil peliputan itu setiap kegiatan mahasiswa dan segala fasilitas mahasiswa di kampus hampir sebagian besar dapat dikatakan disetujui oleh pihak kampus. Setelah ditelusuri, ternyata karena imbas dari pemberitaan itulah mahasiswa akhirnya berani menuntut kepada pihak kampus untuk merealisasikan anggaran secara lebih rasional. Walhasil pihak kampus sudah tidak memiliki dalih yang berarti di mata mahasiswa, akhirnya mereka menuruti saja apa yang di inginkan mahasiswa asalkan tidak melebihi plot anggaran yang di sediakan.

Dari sekelumit cerita diatas, sekilas dapat dipahami kenapa saya katakan menjadi jurnalis itu adalah siap untuk menjadi pengantar perubahan di lingkungannya? Seorang jurnalis, ketika dia meliput sebuah peristiwa, ditunjang data dan wawancara dituntut untuk menyajikan sebuah fakta kebenaran yang dibutuhkan oleh pembaca atau publik. Nah, dari kebenaran yang kita informasikan itulah, akhirnya mempengaruhi opini public sehingga dapat menjadi sebuah rereferensi dalam perubahan yang dinamis di lingkungannya. Disitulah letak substansi kemuliaan menjadi seorang jurnalis, menjadi agen perubahan di masyarakat dengan media informasi.
Ketika jurnalis melakukan perlawanan terhadap keadaan yang terjadi di masyarakat, maka seorang jurnalis akan melakukan perlawanan melalui kebenaran fakta dan realitas yang ia tuangkan di dalam liputan beritanya sehingga dapat menjadi semacam triger opini masyarakat dalam melakukan perubahannya sendiri. 

Namun, dalam konteks pers mahasiswa sesungguhnya lebih berat nilai tanggung jawab yang diemban. Betapa tidak, ketika anda menjadi seorang jurnalis kampus, setidaknya anda sedang menyandang tiga status yaitu Pers, Mahasiswa dan Warga Negara. Dimana dalam setiap kata dan kalimat di berita anda dituntut untuk membuat informasi yang berimbang serta disajikan dengan gaya dan metode penyampaian yang cerdas dan merdeka. Sebuah tulisan yang bertujuan akhir dapat mencerdaskan pembacanya, dapat membuat perubahan dan kondisi yang baik bagi pembacanya. Tidak terkesan provokatif dan subjektif. Sungguh sebuah keharusan yang seringkali tak mudah bagi saya dan kawan-kawan ketika awal belajar menjadi seorang jurnalis (sampai sekarang) untuk tidak terbawa terhadap tendensi yang sedang diberitakan. Biasalah, semangat memberontak anak muda terkadang lebih besar daripada umurnya.

Tak banyak yang dapat saya tulis dalam bab ini, namun apa yang saya jelaskan disini tak lebih dari pemahaman berdasarkan pengalaman saya secara pribadi. Setiap orang pasti mudah untuk merasa paling benar diantara hal lainnya, namun tidak semua orang bisa dengan mudah membiasakan kebenaran ketimbang membenarkan kebiasaan, dan menjadi jurnalis bagi saya adalah sebuah panggilan dimana saya harus tetap konsisten dengan hati nurani saya sebagai Mahasiswa yang tidak mengingkari kebenaran, sebagai seorang pemuda yang mencintai bangsanya dan sebagai seorang manusia yang merdeka.

(Ditulis dalam handbook LPM Setara)



0 Response to "MENGAPA MENJADI JURNALIS"

Post a Comment