Swadesi Energi

SELAMA dua abad terakhir, sumber energi fosil menjadi faktor ekonomi terpenting. Perang hingga rekonsiliasi kerap menjadi motif penguasaan daerah yang kaya ladang minyak, tambang batu bara, gas dan energi fosil lainnya. Kini, setelah kebutuhan energi dunia meninggi dan ketersediaan sumber energi fosil menipis, mulai dicari sumber alternatif baru yang tak pernah habis. Energi surya, angin, laut, panas bumi, sampah, biomassa hingga mikrohidro didaulat menjadi sumber energi di masa depan. Indonesia, memiliki daftar berkah cuma-cuma tersebut.

Namun, ketika nanti di masa depan energi terbarukan harus diperlakukan layaknya energi fosil saat ini, tentu negara-negara pemilik potensi energi terbarukan berlimpah seperti Indonesia, diprediksi akan menjadi bintang dalam peta geopolitik dunia. Disaat negeri lain tak dapat memiliki berkah garis pantai nan panjang dan arus laut yang kuat, Indonesia bisa memanen pembangkit listrik tenaga angin dan arus laut dengan mudah. Disaat negara lain tak memiliki surplus plasma nutfah untuk diolah sebagai bahan baku Biofuel, di Indonesia tersedia. Disaat banyak negara lain tak memiliki gunung berapi, daratan disini dipaku ratusan gunung yang menyimpan potensi energi jutaan megawat dari panas bumi. Negeri ini, surga energi di masa depan!

Pada tahun 2012 lalu, Secara resmi PBB telah meluncurkan program energi terbarukan dalam perhelatan World Energy Summit di Abu Dhabi. Targetnya, 15 tahun dari sekarang semua orang di dunia sudah menggunakan energi dari sumber terbarukan. Sejak itu, tema tentang energi terbarukan terus menjadi pembicaraan strategis negara-bangsa di dunia. Terlebih setelah adanya larangan impor minyak Iran oleh AS dan sekutunya. Larangan ini otomatis membuat harga minyak dunia melambung mencapai lebih dari US$ 120 per barel karena defisit pasokan. Imbasnya, ternyata turut dirasakan di Indonesia dengan dicabutnya subsidi BBM.

Sebelum tragedi Iran itu terjadi, ternyata diam-diam banyak negara adidaya telah berinvestasi ke sektor energi terbarukan. China masih menjadi kaisarnya. Berdasarkan data dari REN21, nilai investasi negeri panda ini mencapai US$ 50 miliar pada tahun 2012. Disusul Jerman, Amerika, India, dan negara-negara Uni Eropa yang tak kalah panjang digit angka investasinya. Negara-negara maju kini mulai bersaing menjadi yang terdepan dalam menjaga kualitas lingkungan di negerinya. Berbagai sumber energi terbarukan yang potensial dipelajari dan didayagunakan secara serius. Jerman dengan inisiatif Stromeinspeisungge setz-nya dan Amerika dengan kebijakan National Energy Act dan Public Utilty Regulatory Policies Act. Bahkan, kedua negara adidaya ini telah menjajaki misi ini sejak tahun 1970an dan jadi acuan bagi negara lain dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan. Bagaimana dengan Indonesia?

Di Indonesia, keterbatasan cadangan minyak dan harganya yang terus merangkak naik, ditambah beban subsidi APBN dan meningkatnya kebutuhan energi nasional, telah menjadi pendorong kesadaran dalam mengoptimalkan energi terbarukan. Betapa tidak, dari energi surya saja -menurut data dari BPPT- potensi yang bisa dihasilkan di Indonesia mencapai 4,8 kWh/m2/hari. Nilai ini, mencapai 6 hingga 10 kali lipat dari energi surya yang bisa dihasilkan oleh Jerman.  Ini baru energi surya, belum mengabsen sumber energi lain yang luar biasa potensial seperti memanfaatkan potensi laut dan samudera, panas bumi, angin, sampah, bahkan hingga air limbah terproduksi pengeboran minyak  pun bisa dimanfaatkan. Nikmat manakah yang kita dustakan?

Saat ini, energi terbarukan memang belum riuh dipanen sebagai komoditas utama bahan bakar roda industri dunia. Energi terbarukan cenderung baru memasuki tahap ‘penanaman’. Namun, jangan sampai ketika ‘masa panen’ nanti tiba, justru Indonesia baru memasuki ‘masa tanam’ energi terbarukan. Dengan berkah yang luar biasa besar, apabila tidak disiapkan visi misi pembangunan ekosistem energi terbarukan secara holistik, kita akan melewatkan kesempatan hidup layak di masa depan. Tentu, kita tak mau menempatkan anak cucu kita kelak dalam pojok peradaban energi yang serba terbatas bukan?

Adicita Swadesi Energi

Swadesi merupakan bahasa Sansekerta yang pernah dipopulerkan oleh Mahatma Gandhi. Swa berarti ‘diri’ atau ‘mandiri’, sedangkan desh yang berarti ‘Negara’Bila digabungkan, sebagai kata sifat swadesi dapat diartikan ‘dari negara sendiri’. Atau, menurut KBBI swadesi diartikan sebagai gerakan yang menganjurkan untuk menggunakan barang buatan bangsa sendiri. Konteks semangat inilah yang penulis coba baurkan dengan industri energi terbarukan di Indonesia. Swadesi Energi artinya: Mandiri energi dari negeri sendiri.

Terkait Indonesia, untuk keluar dari resiko keterbatasan energi, salah satu prasyarat utama yang mesti menjadi fokus penyiapan swadesi energi terbarukan adalah inovasi teknologi. Tentunya yang sesuai dengan karakter alam nusantara dan visibel secara bisnis. Dalam tahap ini, peranan peneliti dan tenaga ahli negeri ini sangat dibutuhkan untuk menyiapkan peta jalan ekosistem energi terbarukan di Indonesia. Semisal, teknologi panas bumi skala menengah yang cocok bagi sumber listrik di lombok dan sumbawa, atau teknologi turbin air yang cocok dengan sungai-sungai di Indonesia. Hal ini menjadi mutlak, agar peneliti kita menghasilkan invensi dan inovasi yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan kondisi Indonesia, bukan negara lain, yang akhirnya seringkali -penelitian dan peneliti Indonesia- dibajak.

Selain itu, peran penting lainnya tentu datang dari Pemerintah. Suburnya penelitian dan bertumbuh banyaknya ‘kecambah’ tenaga ahli nan pintar di Indonesia, takkan berarti apa-apa tanpa ‘pupuk-pupuk’ seperti  insentif, kebijakan feed in tariff, perijinan yang cepat dan efisien hingga perlindungan (baca: keberpihakan) pada industri dalam negeri. Tentu kita tak mau kecambah tersebut mengalami dormansi. Negeri ini butuh banyak benih unggul para peneliti dan tenaga ahli. Namun, tanpa didukung tempat tumbuh dan perawatan yang sesuai, panen kemandirian energi pun takkan kunjung terjadi.

Teknopreneur Energi

Setelah penyiapan benih unggul peneliti dan tenaga ahli, serta dukungan Pemerintah, hal lain yang menjadi ZPT (Zat Perangsang Tumbuh) tercapainya swadesi energi ialah bertumbuhnya Teknopreneur di bidang energi terbarukan. Teknopreneur-teknopreneur inilah yang mampu menyelaraskan antara teknologi dan kebutuhan industri. Dengan memadukan inisiatif, visi, keberanian melakukan invesi dan inovasi serta tata kelola yang baik, teknopreneur energi terbarukan dapat memastikan sektor ini berkembang menjadi sektor industri yang berkelanjutan. Indonesia, akan mampu berswadesi energi. Oleh kita, dari kita dan untuk kita. Sejatinya, banyak para Teknopreneur energi terbarukan yang terbukti sukses. Sebut saja T-Files (Alumni ITB) dengan Teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Arus Lautnya di Nusa Penida Bali, atau Harianto Albar dengan PLTMH-nya  di Bacu-Bacu, Sulawesi. Ini belum mengabsen yang lain. Mereka, adalah mutiara bangsa yang berhasil melompati tembok inferior bangsa ini terhadap kemandirian energi.

Akhirul kata, masa depan bauran energi terbarukan sebagai penopang peradaban Indonesia di masa depan, secara sadar ditentukan bukan hanya satu pihak belaka. Masa depan anak cucu kita kelak tak melulu tanggung jawab pemerintah, peneliti atau korporasi belaka. Jauh lebih besar dari itu, perilaku hidup individu sebagai bagian dari ekosistem energi dalam memperlakukan sumber energi, menjadi penentunya.

Bijak memilih sumber energi dan hemat adalah rukun wajibnya. Bukankah alam dan manusia diciptakan supaya bisa hidup berzakat manfaat. Tetap acuh dan mati, atau memilih hidup arief berkubang berkah?

0 Response to "Swadesi Energi"

Post a Comment