Car Free Day: Momentum Kesetaraan Publik*


Oleh : Kurniawan T Arief

Terhitung sejak tanggal 28 April 2013 lalu, setiap hari Minggu resmi ditetapkan sebagai Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai Car Free Day. Rencana ini, akan dilaksanakan di sepanjang jalan Siliwangi mulai pukul 06.00 sampai dengan pukul 09.00 pagi. Ini patut diapresiasi, mengingat momentum pembauran publik sangat jarang terjadi di Kota Cirebon. Kalaupun ada, selama ini tempat itu adalah di ruang-ruang Mall dan pusat perbelanjaan

Berbicara soal CFD, tentunya tak lepas dari jalan dan arsitektur sosial yang menyertainya. Sebagai ruang yang dikonstruksikan oleh masyarakat, keberadaan jalan tak bisa dilepaskan dari pengaruh konteks-konteks lain dalam suatu masyarakat. Kenyataan bahwa jalan sebagai produk arsitektur yang terpengaruh oleh aspek-aspek sosial, psikologis, filosofis, dan lain-lain ini disebut dimensi proxemics dalam ilmu antropologi. Dengan memahami dimensi proxemics, suatu bangun arsitektur mempunyai instrumen untuk menterjemahkan kebutuhan dan kemauan manusia yang pada dasarnya bersifat abstrak

Jalan juga tak bisa dipandang sebagai ruang yang netral sebab ruang ini selalu beriringan dengan kontestasi tafsir antar para penggunannya. Kontestasi tafsir ini tak terhindarkan sebab jalan merupakan ruang yang habis dibagi (finite), sedangkan hasrat orang-orang untuk menafsirkannya hampir tak terbatas (infinite). Dari mana sudut pandang tafsir terhadap jalan berasal? Dari hasrat untuk menguasainya. Seperti dikatakan oleh Friedrich Nietzsche, manusia selalu didorong oleh der wille zur macth, yakni hasrat berkuasa.

Para pemilik kendaraan mewah dari strata atas misalnya, menjadikan jalan sebagai ruang pamer kendaraannya. Sedangkan supir-supir angkutan umum dari strata bawah menjadikan jalan sebagai “kantornya”. Mereka yang tak memiliki kendaraan juga tak mau tersingkir dari kontestasi ini dengan “menyandera” bagian pinggir jalan sebagai tempat usaha. Kepentingan-kepentingan ini saling bersinggungan sehingga terbentuklah kontestasi yang intens dan penuh dinamika di antara masyarakatnya. Namun, kontestasi ini lebih bermakna sebagai tukar menukar kenyamanan, kebebasan dan aktualisasi bagi masyarakat Kota Cirebon.

Maka ketika berbicara Car Free Day, pemerintah kota Cirebon sebenarnya sedang berusaha mendekatkan rakyatnya satu sama lain. Car Free Day lebih dari sekedar jalan atau bahkan trotoar, yang di Indonesia kurang begitu diperhatikan keberadaannya. Car Free Day mengubah jalan raya sepenuhnya menjadi trotoar. Dimana disitu, kontestasi publik akan membaur menjadi satu nilai kesetaraan dan pluralitas yang harmonis.

Rakyat Butuh ‘Udara Segar’
Car Free Day, sebenarnya sudah sangat umum dan banyak terjadi di belahan kota lain di Indonesia. Jakarta contohnya, masyarakatnya dulu mengenal Monumen Nasional (Monas) sebagai tempat yang asyik untuk melakukan aktifitas rekreasi publik di Minggu pagi. Namun, semenjak diberlakukannnya Car Free Day tiap akhir pekan beberapa tahun lalu di bundaran Hotel Indonesia (HI), masyarakat mulai mengenal Bundaran HI tidak saja sebagai pusat kemacetan lalu lintas atau pusat demonstrasi, namun sebagai tempat idaman yang dikunjungi di Minggu pagi.

Bukan hanya sipil, tapi ternyata militer pun tak mau kalah ambil bagian dalam momentum pembauran publik di Bundaran HI. Hal ini terbukti ketika TNI AD dari Kostrad melakukan flash mob tarian Gang Nam Style di sela acara pembagian bibit pohon gratis bekerjasama dengan WWF. Para tentara yang terkesan garang dan seram itu, sirna seketika tatkala masyarakat dan para prajurit yang berseragam lengkap sontak menari bersama sambil diiringi lagu Gang Nam Style dari Korea yang mendunia itu. Setelah melakukan flash mob, para tentara bersama masyarakat yang terdiri dari para remaja, ibu-ibu, hingga anak-anak kecil pun membaur seolah tak ada batasan di antara mereka. Entah umur, latar belakang profesi, pendidikan, jenis kelamin dan lainnya.

Ini pemandangan yang jarang terjadi, rakyat sebenarnya merindukan keguyuban dan kerukunan. Sebuah ‘udara segar’ yang lama dielu-elukan dalam bingkai kebersamaan dan kesetaraan sebagai seorang manusia. Semua membaur, semua melepaskan egonya. Lepas sejenak beberapa jam, dari rutinitas kebangsaan yang absurd.

Trias Aspek Dalam Car Free Day
Dalam hemat penulis, ada bebarapa aspek perspektif yang dapat dijadikan pandangan tentang manfaat Car Free Day. Pertama secara politis, adalah fasilitas bagi masyarakat untuk menikmati ruang publik secara lebih leluasa. Lantaran, diakui atau tidak, masyarakatlah yang selama ini berkontribusi untuk pembangunannya, baik melalui pajak maupun retribusi lain yang dibayarkan kepada pemerintah. Selain itu, juga memberikan hak bagi masyarakat dari segala lapisan, terutama yang sehari-hari tidak memiliki kendaraan untuk menikmati jalan yang mereka turut ikut andil dalam “membangunnya.” Terlebih, kalau para pejabat yang memberlakukan kebijakan ini juga membaur dengan warganya, melihat kondisi secara langsung, menyapa mereka, dengan tidak dibuat-buat (pencitraan) dan jauh dari kesan protokoler yang kaku dan feodal.

Kedua; secara ekonomi. Car Free Day juga bisa mendorong usaha ekonomi kecil yang selama ini tidak terfasilitasi seperti pedagang asongan, atau pedagang kaki lima, yang di hari biasa menjadi target Satpol PP. Maka dari itu momentum Car Free Day bisa dijadikan tempat bereksistensi bagi mereka. Tentu saja itu semua dengan catatan jika kita sanggup menata sedemikian rupa sehingga tidak justeru membuat jalanan menjadi pasar tumpah. Misalnya, mereka bisa ditempatkan di kedua ujung dan pangkal dari jalur Car Free Day dengan penataan yang apik dan rapih. 

Ketiga; secara sosial. Car Free Day harus didorong untuk menciptakan suasana guyub di masyarakat, terutama di kota-kota besar yang sudah mulai tergerus dengan kesibukan kerja hingga terjerumus dalam lubang individualisme yang pekat. Dalam Car Free Day, seniman jalanan bebas berekspresi. Komunitas berkumpul mengembangkan dan menunjukkan bakat. Semua kalangan masyarakat berkumpul. Mereka menikmati kotanya. Jika masyarakat sudah menikmati kotanya, ia akan merasa memiliki dan turut menjaganya. 

Pertanyaannya sekarang adalah, siapkah anda menanggalkan kunci kendaraan bermotor untuk turut serta dalam ajang egaliterianisme dan pluralisme yang terbungkus dalam momentum Car Free Day? Maukah Anda berkumpul dalam satu tenda kebersamaan hanya atas nama masyarakat Cirebon yang guyub dalam kebudayaan humanis, serta meninggalkan status serta kelas sosial tertentu yang kita emban selama 6 hari ini? Kita akan temukan jawabnya dalam Car Free Day. Semoga.

*Opini ini pernah dimuat di Harian Kabar Cirebon, di bulan Juni 2013.

0 Response to "Car Free Day: Momentum Kesetaraan Publik*"

Post a Comment