29 tahun lalu, Negeri
ini pernah menasbihkan dirinya sebagai Negara yang berdaulat pangan, Indonesia
menjadi lumbung beras Dunia pada tahun 1984, menyuplai beras paling berkualitas
ke seluruh belahan Dunia. Tapi kini, masa itu rupanya tak lagi berjaya.
Sebentar lagi, sebuah perusahaan besar China-Malaysia (Wufeng Agricultural & Malaysia Amarak Group) akan menanamkan
modalnya langsung ke budidaya Padi hingga mencapai 20,3 triliun di Subang, Jawa
Barat (sumber: www.liputan6.com). Dipastikan, tak kurang 50 ribu ha sawah
ladang akan berubah menjadi daratan asing di tengah hamparan Nusantara. Bukan
hanya akan menjadi beras, hasil produksinya pun akan menjadi Cuka dan Minyak
Kulit Ari Beras (pengganti minyak sawit).
Mirisnya, 80 % produk perusahaan tersebut akan dipasarkan ke konsumen di
Indonesia, ke setiap dapur rumah kita.
Ini baru Beras, lalu apa kabar dengan
Daging, Kedelai, Ikan, Gula, BBM, tekstil, Cabai, Bawang, hingga ke Garam-nya
yang sama-sama kita ketahui pun impor. Kemudian, tahukah kita bahwa sebentar
lagi di tahun 2015 (era perdagangan bebas
ekonomi satu kawasan - AFTA) di Negeri ini, tak lagi hanya makanan dan
minuman kita yang tak lagi asli. Namun, para sarjana lulusan Universitas dari
luar Negeri pun dibebaskan untuk mencari pekerjaannya disini. Lalu, bagaimana
dengan nasib anak anda, kakak dan adik kami ? kompetisi ini akan semakin sengit
di masa depan, kita akan menjadi bangsa pecundang apabila tak berusaha mandiri
dan berdikari.
Kini, ibu-bapak petani kita sudah
terlalu renta untuk memetik hasil panennya sendiri di sawah ladang yang sudah
bukan milik mereka lagi. Ibu dan bapak kandung kita, mereka renta karena sudah
tak lagi berdaulat di atas tanah tumpah darahnya sendiri. Anak-cucunya lebih
menyukai beras impor yang lebih murah dan gurih rasanya tapi beracun, ibu bapak
tani kita menangis karena harga obat pupuk tanaman kesayangannya harus ditukar
dengan harga yang memeras kantong. Belum lagi ketika dijual harga padinya tak
sebanding dengan basah keringatnya, para penguasa yang mereka ketahui dari
spanduk dan baliho di jalan justru berlomba-lomba mendatangkan beras dari
Negeri seberang. Pun ketika kita yang hidup di Kota nan macet menjerit karena
harga beras selangit, mereka orang tua kita para petani tak pernah mengecap
rasanya menjadi jutawan walau sebentar. Seolah, menjadi miskin teraniaya adalah
siksaan abadi yang harus mereka terima sepanjang hayat.
Sedih, gemas, menyakitkan dan ingin
menjerit. Tapi itu takkan memberikan apa-apa, takkan membawa bangsa ini keluar
dari kutukannya. Bersama-sama kita bisa mewujudkannya dari setiap periuk nasi
yang kita miliki, isilah dengan beras dari petani kita sendiri. Dari setiap
wajan yang kita punyai, isilah dengan daging dari peternak kita sendiri. Dari
setiap loyang yang kita miliki, isilah dengan bumbu dari tanah air kita
sendiri.
Kami meminta sebagai anakmu, anak dari
orang tua kami yang sudah lama terabaikan di negerinya sendiri. Kami memohon
sebagai anakmu, yang akan menjadi orang tua dari cucu-cucumu kelak. Kami tak
ingin apabila mereka pun merasakan kepedihan yang dialami orang tuanya, para
Petani yang menangis darah menanam beras yang tak dimakan oleh anak-anaknya
sendiri, oleh kita. Kami ingin menjadi Indonesia, bantulah kami anak-anakmu
mewujudkannya.
Jangan membeli beras dan produk impor,
Belilah beras dan produk milik Negeri kita sendiri.
Cirebon, 29 Juli 2013.
0 Response to "Menjadi Indonesia, Bantu Kami Mewujudkannya."
Post a Comment