SETIAP kali televisi menayangkan iklan berdurasi 10 detik itu, keponakan penulis Marsha (10), terlihat gusar memegang ponselnya. Sejak kemarin bocah kelas lima Sekolah Dasar itu berusaha mengunduh aplikasi KakaoTalk, namun entah kenapa selalu gagal. Rupanya iklan pendek yang getol tampil di TV itu telah memikatnya, dan membuat repot sang orang tua yang bekerja -hanya- sebagai guru honorer. Mereka terpaksa menyisihkan uang belanja hanya untuk membeli ponsel -Android- seri terbaru demi anaknya, agar mau kembali berangkat ke sekolah.
Sementara,
pada tahun lalu peluncuran perdana BlackBerry (BB) Bold 9790 di Pacific Place
malah berakhir rusuh. 2000 lebih manusia Indonesia rela berjejal dalam antrean
yang sumpek hanya demi mendapat BB seri terbaru. Mereka berkompetisi untuk
menjadi konsumen pertama dari peradaban gadget
seperti saat ini. Puluhan korban pun tumbang-pingsan karena berdesakan[1].
Ironis memang.
***
Banyak
yang tak sadar bahwa tiap kali kita mengakses informasi melalui mesin pencari Google, situs sosial media macam Facebook, Twitter dan lainnya, kita baru saja menggelontorkan rupiah ke luar
negeri. Tak kurang dari Rp1,7 triliun potensi pendapatan negara secara mubazir
terekspor pertahunnya[2]
demi memenuhi syahwat manusia Indonesia pada dunia maya. Hal ini dikarenakan mayoritas
server yang digunakan manusia Indonesia terkonsentrasi di jantung ekonomi
negeri Paman Sam: New York. Selain server, layaknya nama domain, hosting,
konten aplikasi, konten seluler, software hingga situs belanja pun hampir semuanya
produk impor.
Kolonisasi
Digital
Dunia
memang tengah memasuki era baru: era digital. Akses internet semakin mudah dan
murah, teknologi perangkat kian ramah dan dikenal. Tak ayal, gaya hidup
masyarakat pun –utamanya generasi muda– terasa sulit menghindari kepungannya. Menurut
MIKTI (Masyarakat Industri Kreatif Indonesia) dalam tempo waktu kurang dari
lima tahun (2008-2012), telah tumbuh sekitar 400 usaha baru kreatif digital. Tak
cukup di situ, dengan volume transaksi e-commerce
yang saat ini sedang mewabah, digit laba yang diraup nyaris mencapai Rp35
triliun di tahun 2011. Angka ini diperkirakan akan melesat hingga US$10,2
miliar pada tahun 2015 setelah diberlakukannya AFTA.[3]
Tentu, ini merupakan prospek fantastis yang belum banyak diketahui pemuda
Indonesia, bukan? Menilik jumlah pengguna internet dan nilainya di Indonesia
yang kian melesat, sepatutnya itu cukup menjadi modal kita untuk percaya diri
menjadi raksasa dunia maya.
Indonesia
menurut Bank Dunia adalah salah satu negeri dengan jumlah populasi penduduk terbesar
di Dunia. Sebanyak 130 juta orang diantaranya, atau 56,5 persen penduduknya
masuk ke dalam kategori kelas menengah[4],
kelompok yang selama ini menjadi unggunan tambang emas bagi pelaku bisnis
teknologi digital dunia. Betapa tidak disebut laiknya tambang emas, tengok saja
pengguna Facebook di Indonesia yang dari
bulan ke tahun seolah berkejaran dengan angka populasi penduduk Negeri ini. Tak
mau kalah, pengguna Twitter di Indonesia
pun mengemban julukan paling getol ‘berkicau’ ketiga di dunia. Ini belum
mengabsen Google, Yahoo, Amazon, Instagram, Path,
LinkedIn, WhatsApp, Line, AVG, Bing, Avast, Youtube, BlackBerry Messenger dan
lain-lain.
Ironisnya,
di tengah euforia syahwat informasi itu, ternyata dari 10 situs paling populer di negeri ini hanya dua situs merupakan
besutan asli anak muda Indonesia: forum Kaskus
dan portal Detik. Delapan lainnya
merupakan situs luar negeri. Hingga kini, peringkat ini belum pernah berubah. Entah
mengapa, manusia Indonesia seperti kerasukan dengan pelbagai kemudahan
teknologi digital non-Indonesia yang banyak berseliweran di alam maya. Lantas, dimana
konten digital yang berasal dari Indonesia? Rasanya jejak maupun namanyapun tak
familiar sama sekali. Padahal, banyak produk digital dari talenta kreatif muda
Indonesia yang mendunia.
Bukan
Malin Kundang Digital
Fakta
bahwa perusahaan asing menjadi pemain besar teknologi digital di Indonesia
memang sudah menjadi legenda. Namun bukan berarti anak muda negeri ini tak
sanggup melakukan hal yang sama. Mereka justru sanggup bermetamorfosis di
negeri orang hingga meraih sukses. Sebut saja Criticube, jejaring sosial
yang berbasis di Belanda. Situs jejaring sosial yang didirikan oleh Rama
Manusama itu kini mampu menjadi pesaing Facebook
di daratan Eropa. Atau juga Gulfware,
perusahaan pengembang Software dan IT
Solutions yang berdiri sejak tahun 2010 di Dubai. Perusahaan yang didirikan
oleh Novel Tjahyadi itu sekarang sukses menggaet Motorola sebagai salah satu
mitra bisnisnya. Mereka adalah segelintir anak negeri yang mampu berjaya di negara
lain dengan memanfaatkan era baru digital.
Tak
hanya di luar negeri, optimisme untuk menjangkarkan penetrasi digital juga
sudah merembes ke bilik dalam negeri. Tahun 2008, dalam sebuah ruangan sempit pada
salah satu kampus di Bandung, sekelompok Mahasiswa akhirnya bersepakat
membentuk usaha kreatif: Agate Studio.
Di tempat itu, mereka mencoba mewujudkan impiannya untuk membuat permainan
berbasis kekuatan budaya lokal di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, mereka
memanfaatkan Facebook dengan lima permainan khas Indonesia: Climb The Pinang, Gado-Gado Sibuk, Defend The
Monas, Kiri-kiri[5]
dan Art of Pencak Silat. Terakhir,
mereka merilis permainan multiplayer
yang populer di dunia: Football Saga.
Kini, sekelompok anak muda itu tak hanya mengharumkan Indonesia dengan pernah
menyabet gelar juara Imagine Cup di Paris, omset bisnis mereka pun sudah
mencapai miliaran rupiah perbulannya[6].
Melarung
Samudera Digital Dengan Kebudayaan
Kembali
beranjak ke luar negeri, Jepang adalah salah satu negara paling sukses dalam
industri konten, khususnya animasi. Pendapatan mereka dari anime (sebutan untuk animasi Jepang) di tahun 2008 mencapai lebih
dari US$2,2 miliar. Selain animasi, ada Mixi
yang menampilkan identitas Jepang melalui situs jejaring sosial. Situs yang
didesain sesuai dengan karakter masyarakat Jepang ini terbukti berjaya sebagai
situs jejaring nomor wahid di Jepang mengalahkan Facebook atau MySpace.
China
lebih radikal lagi. Negeri tirai bambu itu membatasi mesin pencari Google, Facebook dan Twitter.
Mereka, mendorong industri kreatif digital dalam negerinya untuk membuat konten
lokal. Walhasil: Baidu, Sina Weibo dan Qzone sukses menjadi tiga kaisar di
Negerinya sendiri. Ini mereka lakukan lantaran sadar bahwa peluang ekonomi dari
perubahan global saat ini begitu potensial. Mereka berhasil mencegah uang
rakyatnya lari ke luar Negeri. Dari sinilah China mulai mengunduh pundi-pundi
ekonominya, dan kini negeri itu tengah bersiap menjadi negeri adi-maya.
Jepang
dan China, sanggup memapah era teknologi digital tanpa harus larut dalam
pusaran kontestasi yang mengabaikan akar kultural. Kedua negeri itu mampu
membenamkan dirinya dalam aras perubahan global, namun tetap bisa melarung samudera
dengan kapal kebudayaannya.
Indonesia
adalah Desa Saya
Berkaca
pada dua negeri itu, kita juga mustinya mampu memiliki versinya sendiri. Desa
kita, kini tengah bersiap memasuki era keempat peradaban manusia: era
teknologi. Tentu saja, apabila tak diisi oleh nafas kearifan budaya lokal bukan
hal mustahil kasus Pasific Place akan kembali terjadi di Desa-Desa. Kita bukan
mengeksplorasi informasi, justeru dengan konyol menyerahkan diri untuk dijajah
teknologi informasi. Tentu ini sebuah anomali yang tak lucu. Apalagi, mulai
Oktober 2013 nanti pemerintah secara resmi membangun jaringan Meaningful Broadband ke tiap Desa di
seluruh Indonesia[7]. Program
ini diharapkan mampu menjadikan anak-anak atau orang tua kita para petani dapat
terhubung dengan derasnya akses informasi dan pengetahuan baru lewat Internet. Kita
bisa memperkokoh identitas lokal-nasional dalam dunia yang serba terhubung saat
ini dengan mendorong munculnya berbagai konten buatan anak negeri. Beberapa
diantaranya memang sudah bergeliat di permukaan. Namun, lagi-lagi kebanyakan nasibnya
belum begitu baik. Lantaran tak mendapat ramahnya rejeki di tanah airnya
sendiri.
Berangkat
dari titik ini, ada secuil alternatif yang mungkin bisa kita diskusikan
kembali. Pertama, yakni dimulai dari
dunia maya. Jika kita termasuk yang setia memakai situs atau konten luar negeri saat terhubung dengan Internet, kita
bisa mulai dengan memakai situs pencari dan konten lokal. Jika selama ini kita berbangga
memakai domain (dot)com, (dot)org, (dot)net dan lain-lain demi nama situs
internet, kita bisa memulainya dengan menggunakan domain(dot)id. Selain itu,
pastikan pula server yang digunakan berasal dari Indonesia, bukan dari Singapura
atau New York. Singkat kata: membumikan Indonesia.
Kedua,
buatlah komunitas yang menggunakan internet sebagai surau kreatif dalam mengeksplorasi
potensi yang bersifat lokalitas. Langkah ini bisa dimulai dari lingkungan
kampus. Seperti apa yang sudah dikerjakan oleh Handi[8]
seorang mahasiswa semester tiga di Unswagati Cirebon. Ia membuat mesin pencari www.kita.pw dan digunakan oleh teman kuliahnya.
Melambat laun, kini mesin pencarinya mulai dikenal oleh mahasiswa lain di
kampusnya. Menggeser Google dan Yahoo yang populer, setidaknya di
kampusnya sendiri.
Terakhir, setelah
memproduksi dan menggunakan domain sendiri, secara otomatis kita harus membuat
konten sendiri. Dalam hal konten, sepertinya kebudayaan mendapatkan
relevansinya di sini. Lantaran, di dunia yang sudah digenggam oleh globalisasi
(budaya) ini, kebudayaan lokal-nasional merupakan strategi paling genuine untuk memperluas cakar Indonesia
ke pentas dunia. Lihatlah Amerika dengan Hollywood
maupun Korea Selatan dengan K-Popnya. Dua negara itu berhasil melebarkan kepak
sayapnya dengan modal kebudayaan. Toh,
seperti pernah Antonio Gramsci ujarkan, pada saatnya nanti kita hanya akan
dihadapkan pada dua pilihan: dihegemoni atau menghegemoni?
Jika
sudah seperti ini, penulis yakin, optimisme akan lebih mudah kita petik. Sebab,
dengan membangun patriotisme digital para manusia Indonesia, tak pelak kemandirian
ekosistem di dunia nyata niscaya dapat tumbuh subur di halaman rumahnya sendiri:
Indonesia.
Kita
bisa saja menjadi pemimpi(n) atas daulat ekonomi dan budaya bangsa ini di masa
depan. Sebuah era di mana latar bumi manapun bisa kita jelajahi. Kita,
merupakan pembebas bagi bangsa yang tengah tergadai ini. Koloni(ali)sasi digital
sudah merasuk ke sukma manusia Indonesia. Tak sesulit di dunia nyata apabila
mau, manusia Indonesia mampu berjaya setidaknya di dunia maya.
Akhirul kalam,
meminjam alegori Radhar Panca Dahana: kenapa harus jadi rusa jika bisa menjadi
singa? Atau, kita membiarkan saja generasi Indonesia yang masih hijau menjadi
Marsha-Marsha baru? Relakah kita menyaksikan generasi kelak dijadikan ‘rusa’
oleh ‘singa’ Facebook, Twitter, Yahoo, Instagram,
Google, Wordpress, KakaoTalk dan atau BlackBerry?
***
Daftar pustaka
-
http://www.kita.pw > wikipedia dan
Teknopreneur.com
-
Majalah
Tempo, Majalah Tempo, edisi 20-26 Februari 2012
-
Majalah
Teknopreneur, edisi Juni 2010 (hal - 15)
dan edisi Februari 2013 (hal - 71)
-
Radhar
Panca Dahana, Inikah Kita – Mozaik Manusia Indonesia, Resist Book, Yogyakarta
2007
-
Reference
Book Digital Creative & Information Communication Technology Industries,
Infomedia 2012.
[1] Majalah Tempo, edisi 20-26 Februari 2012,
halaman 57
[2] http:www.teknopreneur.com
[3] Reference Book Digital Creative &
Information Communication Technology Industries, Infomedia 2012.
[4] Majalah Tempo, edisi 20-26 Februari
2012, Mereka Yang Beranjak Kaya - halaman 53
[5] Permainan yang ter-ilhami dari keberadaan
angkot di Kota Bandung yang sangat khas.
[6] Majalah Teknopreneur, edisi Juni 2010,
halaman 15
[8] Mahasiswa Fakultas
Pertanian Unswagati Cirebon, teman satu Jurusan kuliah dan organisasi dengan penulis.
0 Response to "Koloni(ali)sasi Digital"
Post a Comment